Meski kasus hacking marak di Indonesia, namun menurut data penelitian
Unit V IT & Cybercrime Bareskrim Polri, hanya dua kasus hacking yang
berhasil diungkap dan diproses ke pengadilan, yaitu kasus hacking
website Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tahun 2004 dan kasus hacking
website Partai Golkar pada tahun 2006.
Kedua kasus ini telah menarik perhatian publik karena entah secara
kebetulan atau tidak, keduanya terjadi pada dua website institusi
politik dan istilah hacking yang memang baru dikenal luas. Kasus hacking
website KPU dilakukan oleh Dani Firmansyah dari Yogyakarta, sedangkan
kasus hacking website Partai Golkar dilakukan oleh Iqra Syafaat dari
Batam.
Dalam penelitiannya, Kepala Unit V IT & Cybercrime Bareskrim
Polri Kombes Polisi Petrus Reinhard Golose mengungkapkan bahwa polisi
sebagai aparat penegak hukum belum secara baik dipersiapkan untuk
menangani kasus-kasus di media virtual semacam ini. Padahal menurut data
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) sendiri, pada
tahun 2003 telah tercatat 2.267 kasus network accident dan di tahun 2004
terdapat 1.103 kasus serupa. Akibatnya, kasus-kasus ini tidak banyak
ditangani secara tegas oleh aparat.
Menurut Petrus, penanganan kasus cybercrime sendiri sangat berkaitan
dengan sistem peningkatan kualitas SDM di kepolisian sendiri. “Kita
harusnya bukan hanya menciptakan polisi-polisi yang mahir komputer namun
bagaimana menciptakan polisi yang ahli menyelidik kejahatan yang
berhubungan dengan komputer,” ujar Petrus dalam paparan disertasinya di
hadapan sembilan anggota tim penguji di Balai Sidang UI Depok, Sabtu
(7/6).
Petrus mengakui, kehidupan masyarakat sendiri saat ini sudah bergerak
menuju digital dan online, namun pada faktanya aparat penegak hukum
sendiri belum banyak yang mengerti tentang digital evidence, sebuah
barang bukti kejahatan cyber yang wujudnya tidak kelihatan karena berupa
data. Oleh karena itu, Petrus merekomendasikan pendidikan khusus di
Akademi Kepolisian, sekolah polisi dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian
(PTIK) mengenai kemampuan menjelajah dunia cyber dan mensinergikan
penggunaan software dan hardware dalam penyidikan cybercrime.
“Kita juga harus bisa beri pengertian kepada atasan, mengenai
pentingnya ini, menggalang kerja sama dengan external stakeholders,
seperti Microsoft dan instansi penegak hukum dalam atau luar negeri
untuk melaksanakan pelatihan,” ujar Petrus.
MENDESAK PERLUNYA UNDANG-UNDANG ANTI HACKING
Maraknya kasus transaksional yang dihadapi dunia dan Indonesia saat
ini mendorong penanganan kasus-kasus yang sering disebut cybercrime ini
membutuhkan payung besar untuk menindak pelakunya secara pidana. Hingga
saat ini payung hukum itu masih dalam bentuk RUU.
Komisaris Besar Petrus Reinhard Golose yang hari ini, Sabtu (7/6),
baru saja mendapatkan gelar doktornya dalam ilmu kepolisian mengatakan
UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) belum cukup kuat untuk
menyeret pelaku ke pengadilan. “Sebenarnya banyak kelemahan dalam UU
ITE. Pada faktanya belum ada ketentuan hukum materil yang secara tegas
mengatur cybercrime,” ujar Petrus usai dinyatakan berhak menyandang
gelar doktor oleh sembilan orang anggota tim penguji sidang di Balai
Sidang UI Depok, Sabtu (7/6).
Ketentuan hukum yang tegas mencakup dunia cyber sangat mendesak
karena menurut Petrus di berbagai segi kehidupan masyarakat terus
bergerak ke arah online. Kalaupun ada kejahatan di dunia cyber, wujudnya
tidak kelihatan dan sulit dibuktikan. “Internet itu sekarang sudah
menyentuh hidup semua orang, second life dengan internet, misalnya saja
melakukan transaksi. Bayangkan seperti di Estonia, gara-gara dihack,
selama satu hari semua aktivitas berhenti,” ujar Petrus yang memfokuskan
penelitiannya pada hacking.
Di Indonesia sendiri, baru dua kasus hacking yang disidangkan, yaitu
kasus hacking website Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang ditangani oleh
Polda Metro Jaya dan kasus hacking website Partai Golkar oleh Unit V IT
& Cybercrime Direktorat II Eksus Bareskrim Polri. Website Golkar
sendiri dihack oleh seorang lelaki dari Batam yang bernama Iqra Syafaat.
TKP TINDAK PIDANA HACKING ADALAH KOMPUTER
Penafsiran terhadap hukum dan karakteristik hacking yang khas
berbeda dengan kejahatan konvensional merupakan tantangan bagi para
penyidik dalam melakukan penyidikan. Pasalnya, wujud kejahatannya tidak
kelihatan, hacking bersifat borderless, transnasional dan paperless
karena semua jejak hanya tersimpan dalam komputer dan jaringan berupa
log files.
Oleh karena itu, dalam disertasinya, Kepala Unit V IT &
Cybercrime Bareskrim Polri Kombes Polisi Petrus Reinhard Golose
menyatakan bahwa penyidik perlu menerapkan prinsip-prinsip dan fungsi
manajemen yang khas dalam proses penyidikan. Dengan manajemen penyidikan
tindak pidana hacking ini, proses manajemen penyidikan dapat terus
berlanjut sampai ke tahap persidangan. “Saat ini belum ada penerapan UU
yang berkaitan dengan hacking,” ujar Petrus dalam paparannya di hadapan
sembilan anggota tim penguji di Balai Sidang Universitas Indonesia (UI),
Sabtu (7/6).
Manajemen hacking yang disebutkan oleh Petrus terdiri dari penerimaan
laporan, penugasan, perencanaan, pelaksanaan dan penyesuaian,
pengendalian dan evaluasi, penyerahan hasil, bantuan di persidangan dan
dokumentasi hukum. Dokumentasi hukum sendiri dianggap sangat penting
sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan penyidikan pada kasus
hacking di kemudian hari. Melalui analisis mengenai siklus manajemen
dalam penelitiannya, Petrus menuturkan bahwa penyidikan tindak pidana
hacking memiliki karakteristik yang khas, yaitu dilakukan dengan
menggunakan teknologi informasi, tidak mengenal batas wilayah
(borderless) dan lintas batas negara (transnasional), dan tidak
meninggalkan jejak berupa dokumen fisik (paperless) tapi dalam bentuk
data (log files).
Dalam penyidikan, penyidik perlu menjelajah dunia cyber, bahkan
melakukan penyamaran di internet (virtual undercover) untuk menemukan
hacker dan perlu adanya eksistensi bukti digital seperti log files yang
memberikan informasi berupa catatan atas perintah atau pesan kepada
server korban yang dapat menunjukkan IP (internet protocol) address para
hacker. Selain itu, perlu penanganan khusus terhadap komputer sebagai
TKP.
Menurut Prof. Dr. Sarlito W. Sarwono, Psi, selaku promotor Petrus
mengatakan bahwa penelitian mengenai kejahatan cyber yang dilakukan
Petrus dengan mengambil studi kasus penyidikan tindak pidana hacking
website Partai Golkar oleh Unit V IT & Cybercrime Bareskrim Polri
merupakan penelitian kejahatan cyber yang pertama di Indonesia, bahkan
Mungkin di Asia.
sumber : teknologitinggi.wordpress.com
0
Posted by Wan Nazori in
SOFTWARE SECURITY
Label
- Cerita Rakyat Dari Natuna Kepulauan Riau (1)
- Client Server (10)
- Religion (3)
- SOFTWARE SECURITY (8)