Menurut cerita dari mulut ke mulut, Wan Sinari, putri pertama Baginda Raja Tua yang memerintah di kerajaan Bintan pada waktu itu, jatuh hati pada seorang Panglima Muda Bintan yang terkenal gagah berani bernama Raja Andak Raja Laksamana. Sayang, Wan Sinari bertepuk sebelah tangan. Karena, cinta dan kasihnya terlebih dahulu terpaut pada Wan Inta, adik kandung Wan Sinari.
Akhirnya, di dalam proses pembuatan penganan itu, Wan Sinari memohon kepada Baginda Raja Tua agar penganan tersebut dipersembahkan untuk para pembesar-pembesar kerajaan untuk dicicipi. Permintaan tersebut dikabulkan oleh ayahandanya tercinta bahwa dalam pemikiran beliau "kalau tidak berada tak kan tempua bersarang rendah".
Filosofi '' Biar Pecah Dimulut Jangan Pecah Ditangan " menggambarkan bagaimana seorang bangsawan beretika yang baik ketika makan sehingga tatakrama dan adab sopan santun diajarkan dalam mencicipi penganan mencerminkan tingkah laku yang tergesa- gesa dan kurang berhati-hati dalam kata lain, Andaikan penganan tersebut berserak, mencerminkan betapa buruknya orang yang terpandang dalam perilaku keseharian.
Semenjak itulah, penganan tersebut dinamakan dengan nama Batang Buruk yang antara nama dan cita rasanya sangat berbeda sekali. Namanya buruk, tapi cita rasanya sangat tinggi membuat kita terperangah enaknya.
"Biar pecah di mulut, jangan pecah di tangan".
Sumber : www.dapoermelayoe.blogspot.com/